Agus Marto Salahkan Andi Mallarangeng
Agus diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Teuku Bagus Muhammad Nur, Direktur Operasional PT Adhi Karya. KPK juga memeriksa tiga saksi lain, yaitu Direktur Utama PT Biro Insinyur Exakta Ida Nuraida, Direktur Teknik dan Operasional PT Biro Insinyur Exakta, dan Kepala Divisi Kontruksi PT Adhi Karya Djoko Prabowo.
Agus tiba di Gedung KPK sekitar pukul 10 pagi menumpang mobil Toyota Crown bernomor B 1189 RFS. Mengenakan kemeja biru muda lengan panjang dipadu dasi warna senada, Agus terlihat rapi dan percaya diri. Sebelum masuk, Agus memberikan komentar singkat mengenai perubahan kontrak pengadaan Hambalang menjadi tahun jamak (multiyears). Menurutnya, perubahan tersebut bisa saja terjadi.
Sambil bergegas masuk Gedung KPK, Agus yang ditemani beberapa stafnya, berjanji memberikan keterangan yang lebih lengkap seusai pemeriksaan.
Dia diperiksa hampir 4 jam di lantai 4. Pukul 14.20, Agus keluar. Di pelataran Gedung KPK, Agus memberikan penjelasan seputar kasus Hambalang. Dia mengaku ditanya mengenai tugas dan fungsi Menkeu dalam proses penganggaran.
Terkait penganggaran untuk proyek Hambalang, Agus mengklaim pihaknya sudah menjalankan tugas seusai aturan. Jika terjadi pelanggaran, lanjutnya, yang bertanggung jawab adalah kementerian teknis, dalam hal ini Kemenpora sebagai pengguna anggaran atau kuasa pengguna anggaran.
“Sehingga semua proses anggaran, baik itu perencanaan, pelaksanaan, pengawasan pelaksanaan, pelaporan, pertanggungjawaban, itu harus dilakukan kementerian teknis,” katanya.
Kementerian teknis, kata Agus, juga memiliki kewenangan menginstruksikan terjadinya perikatan dan pembayaran. Karena itu, Kemenpora bertanggung jawab memberikan kegiatan-kegiatan yang ada secara termil dan materil.
“Sehingga, saat kementerian itu memerintahkan untuk ada pembayaran, nanti di Kementerian Keuangan tinggal melakukan verifikasi meyakinkan tersedianya dana, kemudian dibayar,” ucapnya.
Mengenai anggaran multiyears, Agus menjelaskan, kontrak tahun jamak tidak terkait alokasi anggaran, namun pengadaan. Artinya, jika ada suatu kegiatan dan ternyata kegiatan itu lebih dari satu tahun, maka dana tersebut tidak bisa dipecah-pecah.
“Maka, kementerian teknis itu akan mengajukan persetujuan untuk kontrak tahun jamak. Tujuannya, agar proyek yang tidak selesai dalam waktu satu tahun itu, di tahun berikutnya tidak perlu tender lagi,” urainya.
Agus mengatakan, proyek Hambalang awalnya memang proyek yang tidak besar, yakni Rp 125 miliar. Tetapi pada akhir 2009, ada inisiatif dari Kemenpora untuk menjadikan proyek tersebut menjadi proyek besar berskala internasional. Proyeknya diubah menjadi Rp 2,5 triliun. “Penting sekali untuk diketahui siapa aktornya,” tegas Agus.
Agus mengaku tidak melihat kejanggalan dalam perubahan itu. Apalagi, kata dia, sudah ada pembahasan yang intens antara pihak Kemenpora dengan Komisi X DPR. Agus menjelaskan, sekurangnya ada 9 kali pembahasan antara Kemenpora dengan Komisi X DPR terkait peningkatan anggaran dari Rp 125 miliar menjadi Rp 2,5 triliun.
Agus pun menyalahkan Menpora Andi Mallarangeng, kenapa tidak mengetahui bahwa Sesmenpora Wafid Muharam menandatangani persetujuan proyek Hambalang. Padahal, kata Agus, sangat lazim jika seorang menteri memberikan kuasa kepada Sekretaris atau Sekjen untuk tanda tangan atas nama menteri.
“Bagaimana ada Sekretaris atau Sekjen bisa tanda tangan atas nama menteri, dan kemudian menterinya mengatakan tidak tahu. Tentu hal itu mesti diperiksa. Ini sangat mencederai kepercayaan,” tandasnya.
Pemeriksaan ini merupakan yang kedua bagi Agus, setelah dia dimintai keterangan KPK pada 19 Februari lalu. Pemeriksaan yang kedua ini, dilaksanakan setelah Agus terpilih menjadi Gubernur Bank Indonesia (BI).
Kemarin, KPK juga memanggil anggota DPR Umar Arsal dan karyawan PT ACC Kwitang, Harjito sebagai saksi bagi tersangka kasus penerimaan hadiah terkait proyek Hambalang, Anas Urbaningrum, bekas Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR.
Menurut Juru Bicara KPK Johan Budi, Umar tidak hadir karena sedang ada sidang di Komisi V DPR. Namun, Johan tidak mendapat konfirmasi, kenapa Harjito tidak hadir.
REKA ULANG
Adik Andi Menyalahkan Menkeu
Adik bekas Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng, Rizal Mallarangeng adalah orang yang pertama kali mengkait-kaitkan kasus Hambalang ke Menteri Keuangan Agus Martowardojo.
Rizal merasa penetapan status tersangka untuk kakaknya, tidak fair. Soalnya, Andi selaku Menpora tidak pernah tanda tangan surat permohonan proyek multiyears Hambalang. Tapi, anggaran tetap bisa dicairkan Menteri Keuangan. Karena itu, dia menyalahkan Agus Marto.
“Kok, Agus Marto nggak melanggar hukum? Karena dia yang pegang uangnya, dia yang teken uang keluar, mestinya dia dong. Atau sengaja, ada apa di balik ini,” tanya Rizal.
Dalam laporan audit investigasi BPK disebutkan, kontrak proyek multiyears Hambalang diduga melanggar aturan. Antara lain, persetujuan kontak tidak diajukan Menpora, padahal nilai proyeknya di atas Rp 50 miliar.
Lalu, Sesmenpora menandatangani surat permohonan persetujuan kontrak tanpa memperoleh pendelegasian dari Menpora. Tapi, Menteri Keuangan tetap mencairkan uang untuk proyek tersebut.
Terkait tanda tangan ini, Rizal mengaku heran. Menurutnya, ada kesan Agus tidak merasa penting mengingatkan Andi untuk membubuhkan tanda tangan permohonan persetejuan kontrak dan anggaran Hambalang. Padahal, berulang kali ada pertemuan antara Menkeu dan Menpora dalam rapat kabinet pada 2011.
“Dalam rapat kabinet dari Agustus sampai Desember ada beberapa kali ketemu. Seandainya Agus bilang: Ndi, saya tidak turunkan uang Rp 1,2 triliun karena kurang tanda tangan, pasti kakak saya tanda tangan. Karena proyek Hambalang dalam konsep kan bagus. Nah, pertanyaannya kenapa gampang banget dana turun,” herannya.
Rizal menuding Menkeu tidak bersikap kesatria. “Agus Martowardojo malah komentarnya melempar tanggung jawab. Itu tanggung jawabnya Agus Martowardojo, bukan Andi Mallarangeng. Pertama-tama keluar pintunya adalah Menteri Keuangan,” tegasnya.
Dia berharap, KPK berpikir logis dan konstruktif dalam menyelidiki kasus Hambalang ini. Mengapa, ada uang negara keluar dengan mudah tanpa kelengkapan dokumen yang memadai.
Tapi bagi KPK, urusan tanda-tangan ini bukan faktor penting dalam penyidikan perkara Hambalang. Di mata KPK, fokus utamanya, bukan ada tidaknya tanda tangan Andi Mallarangeng.
“Ini bukan soal AAM tanda tangan atau tidak. AAM diduga menyalahgunakan kewenangan sebagai Menpora. Jangan seolah-olah Menkeu tanda tangan, terus Menkeu mesti jadi tersangka. Soal tanda tangan atau tidak, bukan proses pengadaannya, tapi soal penganggarannya,” kata Juru Bicara KPK Johan Budi.
Kata Johan, KPK tak bisa didikte dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. Andi dijadikan tersangka, karena KPK memiliki dua atau lebih alat bukti bahwa yang bersangkutan menyalahgunakan wewenangnya.
Pada Selasa (9/4), KPK memeriksa Andi Mallarangeng untuk pertama kali sebagai tersangka. Diperiksa selama enam jam, tapi Andi tidak ditahan KPK.
Dalami Kenapa Ada Lonjakan Anggaran
Trimedya Panjaitan, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Trimedya Panjaitan berharap, KPK terus mengembangkan kasus korupsi pembangunan pusat olahraga Hambalang.
Trimedya berharap, KPK tak hanya melakukan penelusuran kepada pihak Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), tapi juga ke pihak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang menyetujui turunnya dana untuk membiayai proyek Hambalang.
Dia menilai, dalam persetujuan proyek tersebut, Menteri Keuangan (Menkeu) tidak bisa lepas tangan sepenuhnya dan melimpahkan kesalahan kepada Menpora.
Meski Kemenpora sebagai pengusul penambahan anggaran dari Rp 125 miliar menjadi Rp 2,5 triliun, Kemenkeu semestinya juga melakukan evaluasi kenapa ada lonjakan anggaran proyek Hambalang.
“Harusnya Kemenkeu juga meneliti, kenapa anggaran itu membengkak hingga mencapai Rp 2,5 triliun. Itu kan besar banget, lebih dari seribu persen. Menkeu juga harus melakukan evaluasi dalam penambahan proses tersebut,” ucap Trimedya, kemarin.
Menurutnya, KPK juga harus menelisik motif Menkeu yang mudah menyetujui anggaran dari singleyear menjadi multiyears. Apakah persetujuan itu sudah sesuai peraturan atau ada motif lain di belakangnya.
“Apakah karena Menpora itu sangat dekat dengan Menkeu, atau ada motif lain. Itu yang harus diungkap KPK,” ucapnya.
Selain melakukan penelusuran kepada dua kementerian itu, Trimedya juga berharap KPK melakukan penelusuran kepada pihak legislatif.
Trimedya mengingatkan, kasus yang menjerat bekas Menpora Andi Alfian Mallarangeng (AAM) sebagai tersangka ini adalah kasus yang menyita perhatian publik. Sebab itu, KPK harus bisa membuktikan bahwa kinerjanya dalam penyidikan kasus ini bisa dipertanggungjawabkan dan akuntabel.
“Tentu kasus ini ditunggu-tunggu publik, bagaimana duduk perkaranya,” kata politisi PDIP itu.
Menkeu Berhak Menolak Pencairan
Uchok Sky Khadafi, Koordinator FITRA
Koordinator LSM Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Uchok Sky Khadafi meminta Menteri Keuangan (Menkeu) tidak lepas tangan dalam kasus korupsi pembangunan proyek Hambalang.
Uchok meminta Menkeu jangan cuma menyalahkan Andi Alfian Mallarangeng (AAM) yang saat itu menjabat sebagai Menpora. “Jangan cuci tangan. Jika memang ada kelalaian dalam melakukan prosedur persetujuan, harus diakui dengan jantan,” ucap Uchok, kemarin.
Menurut Uchok, Kemenkeu adalah kementerian yang memiliki kewenangan untuk menyetujui atau tidak menyetujui anggaran. “Jika dalam pengajuan anggaran yang diusulkan kementerian dirasa ada kejanggalan, Menkeu berhak untuk menolak mencairkan anggaran tersebut,” katanya.
Sebab itu, Uchok berharap Komisi Pemberantasan Korupsi menggali dan mendalami apa motif penyetujuan anggaran. Apakah penyetujuan anggaran tersebut sudah sesuai prosedur, atau terjadi pelanggaran dalam proses tersebut. “Kenapa disetujui, itu juga yang harus diungkap KPK,” ucapnya.
Menurut Uchok, terjadinya kasus korupsi di beberapa kementerian tak bisa dilepaskan dari Kementerian Keuangan yang terlalu mudah dalam memberikan persetujuan.
Selain mendalami dugaan keterlibatan pihak Kementerian Keuangan, Uchok meminta KPK juga menelusuri dugaan keterlibatan pihak legislatif. Uchok mengaku heran, kenapa sampai saat ini belum ada tersangka dari anggota DPR.
Padahal, kata dia, perubahan anggaran dari single year menjadi multiyears, tak lepas dari persetujuan DPR sebagai lembaga yang melakukan budgeting dan pengawasan.
Uchok menilai, dalam pengusutan kasus ini, KPK ingin menyeret pihak-pihak yang terlibat secara terpisah. Setelah penyidikan untuk tersangka dari pihak eksekutif selesai, KPK akan meneruskan penyidikan kepada pihak anggota DPR. “Kita lihat saja nanti,” ujarnya. [Harian Rakyat Merdeka/rmol.co]